December 30, 2017

Bapak Khawatir

"Ya', duite iseh ora?"

Kata Bapak sesaat setelah aku beranjak untuk melakukan check-in dan menuju ruang tunggu. Aku menoleh dan mendapatinya bersiap mengeluarkan dompet seakan anak perempuannya ini masih duduk di bangku sekolah dan mintabuang jajan. Aku selalu tahu, Bapak selalu khawatir aku kehabisan uang, Bapak khawatir aku tidak makan karena harus menyisihkan uang untuk kebutuhan kuliah dan tugas akhir, Bapak juga khawatir aku tidak bisa menyisakan uang untuk keadaan darurat. Hal itu sudah terjadi selama empat tahun sejak aku memutuskan untuk kuliah di Jogja, jauh dari rumah. Aku pernah beberapa kali melakukan telepon darurat di akhir bulan karena uang menipis. Hal tersebut yang mendasari kekhawatiran Bapak, bahkan hingga saat itu.

Ibu pernah bercerita tentang Bapak yang gelisah menanyakan keadaanku di Jogja karena hingga penghujung bulan tidak ada telepon darurat dariku meminta uang tambahan. Ternyata bagi Bapak, empat tahun di kota orang belum cukup untuk melepas anak perempuannya.

Saat masih kuliah mungkin dengan wajah cengengesan aku akan menjawab, "habis, hehehe minta uang," tapi tidak untuk hari ini. Kali ini aku ingin membuktikan bahwa aku bisa diandalkan dan Bapak tidak perlu khawatir lagi. Di sana Bapak tampak menunggu jawaban. Sambil mengacungkan ibu jari aku tersenyum.

"Amaaaaan, uangku banyak.." jawabku yakin sambil tertawa. Bapak mengangguk lega.

Aku tertawa bangga pada diriku sendiri. Aku bergegas berjalan melewati petugas pemeriksaan tiket. Saat aku menoleh lagi, Bapak masih di sana, belum beranjak dan tetap tersenyum. Aku melambaikan tangan, Bapak tidak membalas, tetapi tetap tersenyum. Tiba-tiba aku merasakan rindu yang begitu besar tanpa alasan.

*

Di sisi peron aku duduk menunggu keretaku datang. Kereta itulah yang membawaku menuju Jakarta, kereta yang kemudian menjauhkan aku dari rumah, memisahkan aku dan Bapak untuk selama-lamanya.

Sebab dua minggu kemudian Bapak pergi secara tiba-tiba tanpa sempat berpamitan kepadaku.

December 20, 2017