Kampung Baru, malam berangin.
Ada begitu banyak kisah yang terbubuh di atas tanah Banda dengan kami menjadi pemainnya. Kemudian Banda hanya diam, tidak bereaksi apapun selain menjadi saksi yang bisu, walaupun kita semua tahu dia tidak pernah tuli. Tanah ini menjadi pentas, penonton, dan atmosfer yang menaungi. Tanah ini menjadi buku yang menuliskan apa yang terucap dan apa yang terpendam. Tanah ini menyimpannya, kisah yang terjalin di setiap jalanan, di sepanjang garis pantai, di kedalaman laut yang gelap, di atas kapal, di atas pasir, di manapun kaki dan hati berpijak.
Ada begitu banyak kisah yang terbubuh di atas tanah Banda dengan kami menjadi pemainnya. Kemudian Banda hanya diam, tidak bereaksi apapun selain menjadi saksi yang bisu, walaupun kita semua tahu dia tidak pernah tuli. Tanah ini menjadi pentas, penonton, dan atmosfer yang menaungi. Tanah ini menjadi buku yang menuliskan apa yang terucap dan apa yang terpendam. Tanah ini menyimpannya, kisah yang terjalin di setiap jalanan, di sepanjang garis pantai, di kedalaman laut yang gelap, di atas kapal, di atas pasir, di manapun kaki dan hati berpijak.
Di Banda Neira ada jalanan yang tak akan pernah terhapus
dari ingatan, selama-lamanya. Aku telah melewati jalanan itu berkali-kali,
dengan sosok yang berbeda-beda, dengan kisah yang bermacam-macam, dengan hati
yang tidak pernah sama pula. Aku pernah merasa begitu jatuh, menangis tanpa
berhenti seperti anak kecil. Aku pernah merasa rapuh, takut, rindu, marah,
bahkan aku pernah merasa sangat bahagia sampai tidak berhenti tersenyum.
Ada kesah, mengakar, membuatku mengkhawatirkan semua hal
secara berlebihan. Ada kesah, menyublim, terhirup lalu terbuang dan terhirup
lagi, aku takut jika aku tidak bisa mencintai tempat ini. Aku tak pernah
bermimpi akan melangkah sejauh ini dari rumah. Ibu mungkin sudah sangat pasrah
melepas anak gadisnya pergi sejauh apapun, mengejar apapun, terhitung sejak aku
sering diam-diam pergi mendaki gunung-gunung yang menurutnya pantas disebut
“jauh”. Tetapi aku tidak pernah membayangkan Banda, sama sekali.
Dan di tanah yang jauh ini, tak pernah kusangka, aku akan
mengalami patah hati yang sepatah-patahnya. Patah, lalu mencelos kosong. Aku
jelas menangis, siapapun pasti menangis. Kurasa patah itu sangat patah,
sehingga tanpa disadari ia telah mematikan hati sehingga tidak terasa apa-apa
lagi.
Yang patah
tumbuh, yang hilang berganti. Yang hancur lebur, akan terobati.
Adnan, salah satu teman, sangat menyukai lagu ini, dinyanyikannya
berulang-ulang agar aku terhibur dan tidak bersedih lagi.
Aku tidak patah, aku terbelah, apakah akan kembali tumbuh? Aku tidak kehilangan, ia pergi dengan kesadarannya sendiri, apakah akan ada pengganti? Aku tidak hancur lebur, aku lenyap, apakah masih bisa terobati?
Tapi aku menemukan sahabat, yang justru tidak terlalu
peduli dengan kepatahanku, tidak terlalu mengungkit kejatuhanku, tidak terlalu
bicara tentang hati. Mereka bilang urusan hati nomor sekian, yang pergi biarlah
pergi, hidup ini bertambah sulit untuk dijalani dengan membawa serta urusan
perasaan. Semua berjalan seperti tidak ada apa-apa, sehingga aku pun dengan mudah
bisa merasa seperti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada rasa
sakit, dan aku menyukai cara mereka menyembuhkanku, entah sadar atau tidak.
Kini aku tidak mengerti lagi bagaimana caranya berucap terima kasih.
Aku memang sangat patah, tetapi kurasa tanpa patah, tanpa kosong, aku tidak akan pernah bisa merasa jatuh cinta sedalam cintaku di kemudian hari kepada tanah ini.
Begitu bukan?
Aku memang sangat patah, tetapi kurasa tanpa patah, tanpa kosong, aku tidak akan pernah bisa merasa jatuh cinta sedalam cintaku di kemudian hari kepada tanah ini.
Begitu bukan?