July 09, 2011

Kata Lautan





Wanita itu duduk bersimpuh. Matanya kelabu, menyimpan mendung yang tak kunjung beranjak. Pandangannya tak lepas dari sosok laki-laki yang terbaring lemah di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menelan tekanan yang terasa begitu getir saat ini. Sesekali diselipkannya sejumput rambutnya yang terlepas dari ikatan buntut kuda di belakang kepalanya. Ia masih belum bisa sepenuhnya percaya bahwa rencana pernikahannya tak terlaksana.

Entah utuk kali keberapa helaan napas panjang terdengar. Memilukan. Ia beringsut mendekati Agus – calon suaminya. Ada kesedihan yang mencoba disembunyikan laki-laki itu dengan senyum tipisnya. Namun gagal. Tak ada yang tak berduka sejak Dumai Express 10 lenyap dihantam ombak di perairan Takong Hiu kemarin lusa. Termasuk mereka.

Wanita itu, Dede Kairani, perlahan-lahan mencoba tersenyum menatap wajah Agus yang menawarkan kedamaian. Ia bersyukur ada di tempat ini sekarang, bersama dua orang yang dikasihinya: Agus Firman dan Ernawati, ibu kandung Agus. Meski begitu, satu orang dari mereka tak ada di sana. Nenek Agus, sosok wanita tujuh puluh tahun itu tak kunjung ditemukan oleh regu penyelamat hingga detik ini.
Semua baik-baik saja, bahkan sejak rencana keberangkatan mereka ke Dumai. Namun akar-akar mimpi buruk itu datang bersama gulungan ombak besar yang menghantam kapal mereka. Dari sanalah semua bermula.

***

Pelabuhan Sekupang, 22 November 2009, 07:35 WIB

Batam dan biru laut yang mengelilinginya menjadi hal terindah bagi Dede kala itu. Namun ia akan segera meninggalkan tanah Batam hari ini. Ia akan berlayar bersama calon suaminya menuju Dumai lalu dilanjutkan perjalanan darat ke rumah orangtuanya di Teluk Nibung, Tanjung Balai Asahan, Sumatra Utara. Ibu Agus turut serta, begitu pula neneknya. Dumai Express 10 akan segera membawa mereka mengarungi lautan menuju sebuah pernikahan yang telah dinanti-nantikan sejak lama.
Tak lama kemudian mereka memasuki kapal feri yang cukup besar itu. Sebaris doa mereka panjatkan semata-mata untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Beberapa saat lagi mereka akan terapung-apung di lautan lepas. Mereka tak membayangkan hal buruk apapun. Hanya ada rencana manis pernikahan antara Dede dan Agus 25 November nanti.

Tentu, rencana memang selalu manis.

“De, nanti sesampainya kita di Dumai, tak usah berlama-lama kita langsung saja ke Teluk Nibung ya? Keluarga pasti sudah menunggu.”

Dede menoleh. Ernawati, calon ibu mertuanya berusaha meyakinkannya.

“Iya, Bu. Keluarga memang sudah tunggu kita.” ucap wanita muda itu pelan sambil tersenyum. Ernawati membalas senyum Dede. Betapa bahagianya ia memiliki calon menantu yang ramah. Rasanya ia ingin cepat-cepat sampai ke Dumai saja.

***

Dek Utama Dumai Express 10, 22 November 2009, 08:15


Hampir setengah jam sejak kapal meninggalkan pelabuhan. Dede memutuskan untuk beranjak dari posisinya duduk. Ia tak ingin berdiam diri di tempat duduk penumpang sementara pemandangan menakjubkan telah menunggunya di luar sana.

Matahari menyembul malu-malu dari balik awan raksasa yang bergelayut di atas lautan, mencoba mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Semoga memang akan baik-baik saja.

Dede menghela napas. Delapan penjuru angin, sejauh pandang. Dan semuanya adalah lautan. Dede tak terlalu memikirkan di mana ia sekarang. Ia hanya tahu, setengah jam berikutnya keadaan akan tetap sama. Hanya akan ada biru laut dan satu kepastian. Bahwa ia semakin dekat dengan kampung halamannya serta hari pernikahannya.

Dede tersenyum. Wanita berambut panjang itu lalu berjalan menyusuri geladak kapal, menikmati biru cerah langit dan biru gelap lautan yang batasnya sangat jelas. Rambutnya yang melambai-lambai tertiup angin berulang kali disibakkannya. Pandangannya sesekali beredar menyusuri tiap jengkal kapal itu. Rupanya bukan hanya ia yang memilih untuk keluar dan menghirup udara segar di sini. Ada banyak orang, namun ada satu orang yang menarik perhatiannya. Seorang wanita yang terpaku memandangi lautan dalam diam. Sendirian.

Dede berjalan mendekat.

“Boleh saya duduk di sini, Bu?” ucapnya ramah, disambut sebuah senyum kecil dan anggukan wanita yang tampaknya lebih tua darinya.

Sesaat kemudian keduanya hanya saling diam. Hening tercipta. Hanya suara lautan yang diam-diam menelusup ke ruang-ruang dalam dada, menimbulkan sebuah rasa yang sulit terkata. Semua tahu, lagu dari lautan yang berasal dari riuh ombak adalah lagu alam yang paling merdu. Begitu menenangkan.

“Mau ke Dumai?”

Sebaris pertanyaan itu berhasil memecah kebisuan.

Ibu itu mengangguk.

“Kau sendiri?”

“Saya mau ke Teluk Nibung.”

“Sumatera Utara?”

Dede mengangguk perlahan.

“Saya akan menikah di sana.” ucapnya, sambil tersenyum.

“Baguslah. Laki-laki yang mendapatkan kau pasti sangat beruntung.”

Ucapan wanita itu cukup untuk membuat Dede tersipu malu.

“Siapa namamu?”

“Dede. Ibu sendiri?”

“Santi.”

Dede kembali tersenyum sambil mengangguk kecil.

“Suaminya mana Bu?”

“Ada di dalam sama anak-anak saya.”

Dan obrolan kecil tadi mulai berubah menjadi obrolan yang sangat menyenangkan bagi keduanya. Ternyata Santi adalah wanita asal Semarang yang menikah dengan pria bernama Bram Jatmiko yang sama-sama memiliki darah Jawa. Mereka berdua memutuskan untuk menetap di Batam karena Bram yang tak lain adalah seorang dokter tengah ditugaskan di sana. Kini mereka tengah melakukan perjalanan menuju Karimun untuk mengunjungi kerabat mereka.

Santi memiliki tiga orang anak. Anak pertamanya laki-laki, berusia sepuluh tahun. Sementara anak keduanya perempuan berusia enam tahun. Dan anak ketiganya perempuan, masih berusia dua tahun. Dari tutur katanya, Dede bisa memastikan bahwa Santi adalah sosok yang cerdas. Wajahnya tegas, tampaknya ia banyak belajar tentang kehidupan. Terbukti saat ia menyampaikan beberapa pesan untuk Dede.

“Sebentar lagi kau menikah kan? Jangan lupakan satu hal. Bahwa kau tak harus terkekang dengan pernikahan kau itu.

“Cita-cita kau pasti bukan ibu rumah tangga.

“Jika calon suami kau itu orang baik, dia akan mengeri apa ingin istrinya.

“Kau ini pandai, saya tahu itu. Janganlah menyerah menjadi ibu rumah tangga.

“Karena kau akan menyesal karena menghabiskan sisa hidup kau hanya dengan merawat anak-anak kau tanpa mengerti ada hal menarik lain dalam hidup selain hanya memandikan bayi, mengganti celana, atau menyuapi mereka makan.”

Dede terdiam. Angin bergemuruh di telinganya, ombak semakin riuh, turut menyimak perkataan Santi yang mengalir. Ia menatap sosok wanita dewasa itu, menyelami tiap inchi tubuhnya, menerjemahkan arti tatapannya yang tegas. Namun tak ada yang dapat ia simpulkan selain keberuntungannya bertemu wanita dengan rambut kepang sepunggung itu.

“Kau pikir apa alasan orang-orang itu termasuk kau dan saya berada di geladak kapal seperti ini?” tanya Santi sambil menunjuk ke arah beberapa orang yang melintas. Beberapa mereka menuju buritan, memandangi riak dan buih yang tercipta dan tertinggal.

Dede mengerutkan keningnya.

“Mereka bosan, mereka ingin melihat hal-hal menarik lain di sini.”

“Tepat!

“Dalam hidup kau akan menemukan kebosanan. Kau akan membutuhkan keberanian kau untuk memberontak dan memilih jalan hidup kau yang sebenarnya.

“Kau percaya bahwa ada hal indah seperti lautan itu, ombak itu, lebih indah daripada siaran televisi di dalam sana.

“Iya bukan?”

Dede tercengang, lalu mengangguk mantap.

“Sama halnya nanti. Kau akan menemukan kebosanan jika ka uterus bergerak lurus, monoton, bersama hal-hal menjemukan sebagai ibu rumah tangga. Kau harus percaya bahwa ada hal lain yang lebih menyenangkan daripada sekedar mengganti celana atau menyuapi mereka makan.”

Tawa Santi tiba-tiba tercipta, diikuti Dede yang tergelak membayangkan dirinya setelah menikah nanti.

“Tapi kau harus ingat satu hal.”

Santi menghentikan tawanya pelan-pelan.

Wajahnya berubah serius.

“Seindah apapun lautan, kau tak bisa menggapainya dengan menceburkan diri ke sana lalu menikmatinya sampai puas.

“Kau masih bagian dari kapal ini, kau masih salah satu penumpang kapal ini.

“Kau tidak bisa seenaknya meninggalkan kapal!”

Dede lalu menatap Santi, kagum. Sebuah senyum terulas di bibir mereka berdua, mengisyaratkan sebuah relasi antara pikiran mereka. Dede mengerti apa yang akan Santi katakan selanjutnya.

“Kau tak bisa meninggalkan keluarga kecil kau itu hanya karena keindahan yang kau temukan tadi. Kau adalah bagian dari keluarga itu, jangan terlena dengan hal baru yang menyenangkan tadi. Itu hanya sebagai pengalih rasa jenuhmu.

“Bukan cuma ibu rumah tangga. Siapapun di dunia ini, dari mulai rakyat jelata sampai kaum elit di gedung-gedung tinggi itu pasti butuh penghilang rasa bosan kan? Haha...”
Dede mengangguk mengerti. Ia benar-benar kehabisan kata-kata menghadapi Santi. Ia merasa kecil jika dibandingkan Santi yang tampaknya sangat mengerti makna dari setiap jengkal kehidupannya, juga kehidupan orang lain.

“Saya tak tahu harus berkata apa, Bu.”

“Ah, jangan panggil saya Ibu. Umurku belum sampai tiga puluh lima.”

“Oh. Lalu panggil apa?”

“Mbak saja. Terdengar lebih akrab.”

“Baiklah. Saya benar-benar tak tahu harus bilang apa pada Mbak Santi.” ucap Dede mengoreksi panggilannya barusan. “Mengapa Mbak tidak jadi penulis saja untuk mengatasi rasa jenuh sebagai ibu rumah tangga?”

Santi hanya tersenyum.

“Entahlah. Sampai detik ini mungkin saya belum pernah merasa bosan. Anak-anak begitu menyenangkan, apalagi Mas Bram selalu membantu saya mengurus anak-anak. Dia sayang sama anak-anak.”

“Suami Mbak itu pasti beruntung mempunyai istri seperti Mbak...”

Santi mengeleng lemah.

“Saya yang beruntung punya suami seperti Mas Bram, De...”

“Kalian sama sama beruntung.”

Santi lagi-lagi tersenyum. Ada hal yang samar di balik senyum itu.

“Semua orang memang beruntung, De. Setidaknya atas kehidupan yang mereka punya.”
“Beruntung gimana Mbak?”

“Ya beruntung. Nggak semua orang bisa hidup. Saat semua orang menyesal atas kegagalan-kegagalan yang mereka dapat, harusnya mereka bersyukur atas keberhasilan-keberhasilan mereka mempertahankan hidupnya sampai sejauh itu.

“Saat mereka berumur sekian, mereka mestinya bersyukur karena mereka bisa hidup selama itu. Setidaknya lihatlah orang-orang yang tak bisa seperti mereka. Mereka tentu lebih beruntung daripada orang-orang yang umurnya tak lebih dari umur mereka sekarang. Itu cara termudah untuk bersyukur.”

Lagi-lagi Dede harus diam, meresapi tiap liku kalimat-kalimat yang menjurus dan pelan-pelan menohok hatinya. Sudahkah ia bersyukur?

“Dengan bersyukur, mereka akan menghargai tiap usaha yang mereka buat. Bukan mengutukinya apalagi setelah mengalami kegagalan.”

Dede masih terdiam.

Lagu dari lautan terus menggema di dinding-dinding hatinya, bersamaan dengan kata-kata ajaib dari sosok wanita di hadapannya.

“Dengan bersyukur, kita justru akan semakin mengerti bahwa Tuhan selalu memberikan hal baik untuk kita walau terkadang jalannya teramat sulit.

“Bersyukur tidak menjadikan kita miskin, sama sekali tidak!”

“Dan saya bersyukur bisa ketemu Mbak Santi di tempat ini...” gumam Dede, lirih. Tak ada yang mendengar kalimat itu, selain ia dan Tuhan.

“Saya juga bersyukur, De.”

“Bersyukur atas apa?”

Dede nampak berpikir. Ia tak merasa memberikan sesuatu yang berarti untuk Santi. Bahkan perempuan itulah yang banyak memebrikan hal-hal berharga untuknya.

“Senyum kamu. Saya sudah lama nggak lihat senyum adik saya di Semarang.

“Kamu mirip adik saya.”

“Hahaha...”

Suara ombak semakin keras. Obrolan kecil Santi dan Dede pun terpaksa terhenti. Mereka sama-sama merasakan ada hal yang tak beres dengan kapal yang mereka naiki. Ada sedikit guncangan yang mereka rasakan tadi.

“Ada apa ya, De?”

“Nggak tau.”

Mereka bangkit dari bangku kayu yang dari tadi mereka duduki bersama. Mereka masih sama-sama menerka apa yangs ebenarnya terjadi. Namun tubuh mereka tiba-tiba oleng. Goncangan itu kembali terasa.

Gempa kah?

Tanpa dikomando keduanya langsung tergerak untuk mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Langkah mereka terhenti saat mata mereka tersaruk pada haluan kapal. Orang-orang berkumpul. Mereka nampak berlarian.

Dede berhasil menghentikan salah satu penumpang dan bertanya,

“Ada apa, Pak?”

“Gawat. Gawat...”

“Gawat kenapa?”

“Kapal dihantam gelombang dan barusan katanya menabrak karang. Lambung kapal sudah robek. Kapal sudah miring. Sebentar lagi karam! KARAM!!”

Dede menggeleng cepat. Tanpa berpikir panjang ia langsung berlari menuju Agus dan keluarganya untuk menyelamatkan mereka. Ia sudah tak mempedulikan siapapun kecuali Agus, orang yang sangat dicintainya.

Setibanya ia di dek untuk para penumpang, matanya langsung beredar dan menelusup di antara kepanikan yang tercipta. Semua orang tampak bergegas menyelamatkan diri. Matanya kini tertuju pada Agus. Mereka semua masih di dalam!

Sementara itu kecemasan nampak terlukis samar di wajah sang nahkoda. Ada penyesalan yang mendalam di sana. Tak seharusnya ia keluar dari jalur yang sudah ditentukan, tak seharusnya ia teledor mengarahkan kapal ke jalur yang tak semestinya menuju karang, tak seharusnya ia gagal menarik haluan kembali ke tempatnya semula. Tak seharusnya ia merusak kapal ini. Tak seharusnya ia membahayakan nyawa-nyawa ta berdosa ini...

Tak seharusnya.

***

Sementara kapal semakin miring bagian depannya, orang-orang terus berteriak panik meminta pertolongan. Adegan film Titanic tiba-tiba terekam kembali. Kapal Dumai Express 10 mungkin tak sebesar kapal raksasa yang tenggelam dalam pelayaran perdananya pada awal tahun 1912 itu. Namun keadaannya akan segera sama beberapa menit lagi.

Seorang pria tampak menggendong seorang bayi. Ia panik setengah mati seperti orang-orang lain. Namun ia tetap berusaha tenang. Didorongnya wanita yang memeluk dua bocah yang tak lain adalah anaknya itu menuju sekoci. Wanita itu terus menolak.

“Saya akan menyusul bersama bayi kita.”

“Tapi...”

“Cepat naik!”

Ada sebuah kilat di mata laki-laki itu yang cukup untuk meyakinkan wanita itu bahwa ia akan baik-baik saja bersama anak bungsu mereka. Tak lama kemudian sekoci itu turun meninggalkan sosok laki-laki yang diam-diam menyimpan ketakutan.

Sepuluh menit berlalu. Kapal sudah tenggelam separuh. Beberapa laki-laki memutuskan untuk melompat dari kapal. Mereka lebih memilih tercebur ke laut dan terombang-ambing untuk sekian lama daripada terbawa arus dan tenggelam bersama kapal itu.

Perlahan namun pasti, kapal itu karam. Kapal yang terbuat dari fiber itu memang tak seharusnya berlayar menantang angin dan ombak di lautan lepas. Kapal feri itu memang tak seharusnya memuat penumpang dan barang yang melebihi kapasitas. Kapal Dumai Express 10 memang tak seharusnya tenggelam.

Tak seharusnya...

***

Sudah hampir satu jam setelah kapal itu benar-benar menghilang. Ratusan manusia tampak mengapung dan bergerak seirama dengan gelombang yang cukup besar. Beberapa dari mereka tampak berusaha berenang menuju kursi dan meja yang bertebaran di sekitar mereka. Beberapa lagi memutuskan untuk diam dan berdoa agar kapal nelayan bisa menyelamatkan mereka. Dan beberapa sisanya mengapung dengan wajah pucat, menjadi mayat.

Di kejauhan tampak seorang wanita berambut panjang yang mengapung bersama seorang laki-laki serta seorang wanita paruh baya. Itu Dede. Ia bersama Agus dan Ernawati. Mereka berada sekitar dua kilometer dari tempat kapal tenggelam.

Mereka diam menatap sisa-sisa kapal yang terapung: manusia dan kesedihan. Mereka kehilangan satu orang keluarganya. Adalah Ratna Juwita, nenek Agus, mereka terpisah. Kini mereka berharap Tuhan menyelamatkannya. Doa, menjelma menjadi kekuatan terbesar saat itu karena mereka bahkan tak punya kekuatan untuk berteriak.

Dan hari itu, pagi itu, terciptalah sebuah elegi atas bongkahan asa yang tercipta dari ratusan jiwa yang akhirnya kandas, karam, tenggelam, menghilang. Bersama Dumai Express 10 ke dasar perairan Takong Hiu.

***

Dede terbangun dari lamunannya. Ia kembali menatap Agus yang masih terbaring namun kini tersenyum padanya, lagi-lagi menjanjikan sebuah kedamaian dan juga kekuatan. Memang, semua terasa lebih ringan saat Agus ada dan tetap bersama.

Kapal itu kini sudah tenggelam bersama ribuan rencana yang harusnya terlaksana. Renana yang manis kini menjelma menjadi kenyataan yang pahit. Hari ini harusnya ia baik-baik saja. Harusnya ia ada di kampungnya. Harusnya ia menikah esok hari. Harusnya ia bahagia hari ini. Harusnya semua musibah ini tak pernah terjadi.

Namun Dede tiba-tiba menggeleng. Bayang-bayang wanita dewasa dengan kepang sepunggung yang tak sengaja ia jumpai di geladak terbuka kapal itu muncul. Mengingatkan sesuatu yang mencekik dan menohoknya, lagi. Teringat ia akan detik-detik terakhirnya melihat wanita itu menangis karena mayat suaminya ditemukan kaku bersama anak bungsunya. Ia tak bisa apa-apa selain membisu menelan kesedihan yang tak bisa diungkapkannya. Dan bayang-bayang wanita itu semakin jelas dalam pikirannya.

Mengingatkan hal-hal yang ia lupa. Bahwa ia ada di sini, bahwa ia selamat, bahwa ia masih hidup, bahwa Tuhan masih mengizinkannya bernapas dalam kebebasan.

Ia menarik napas dalam-dalam.

“Seharusnya aku bersyukur...”